Kring. Bunyi suara ponsel
membuatku terbangun. Gila, inikan masih pukul 5:00 pagi. “Halo, siapa nih?” jawabku sedikit kesal.,
karena membuatku terbangun dari tidur lelapku.
“Mila, hari ini kita ketemuan di tempat biasa, CafĂ©
Dejavu jam 12:00 siang. Oh
yah, jangan telat” katanya tanpa memberikan kesempatan aku berbicara. Dia
langsung menutup ponselnya. Aneh kenapa secara tiba-tiba Mila mau ketemu aku.
Dasar perempuan kemauannya aneh-aneh saja.
Perkenalkan
namaku Romi, 28 tahun. Pria baik hati, angkuh, ramah, keras kepala, sabar, tulus,
optimis, percaya diri dan yang pasti cukup good
looking. Hari ini, hari Senin akan menjadi hari yang melelahkan. Banyak
tugas yang harus aku kerjakan di kantor.
Aku
bekerja di EA Games perusahaan games
terbesar di dunia yang hanya bisa di saingi oleh SEGA. Aku mungkin menjadi salah seorang Indonesia yang
beruntung bekerja disini. Sebagai kreatif desain games. Aku mengerjakan setiap hal yang berhubungan dengan
pembuatan games baru. Perusahaan kami
telah membuat banyak games best seller,
seperti The Sims, The Sims 2, NBA live 2005, Winning Eleven dan banyak lagi.
Hari ini
akan menjadi hari yang bersejarah bagiku. Aku akan mempresentasikan games
simulator The Sims 2 University di hadapan para GM, Presiden komisaris dan para
bawahannya. Menurut jadual games ini harus segera beredar sebelum bulan Mei ini.
Aku harus
tampil rapih dan menyakinkan. Agar para atasanku terkesan. Ini waktunya percaya
diri dan jangan gugup. Tampil sebaik mungkin, karena aku adalah kreatif desain
terbaik yang mereka punya. Masa depan EA Games ada di tanganku. Seperti aku
yang tak terkalahkan. Karena tak ada yang dapat menjatuhkanku.
“Kau siap?”
Tanyaku pada kepala kratif desain, Pak Henry, seorang berkebangsaan Prancis.
“Perusahaan
telah membantalkan rapatnya, Romi” katanya muram sambil memasuki ruang kerjaku.
“Sampai
besok?”tanyaku sedikit bingung dengan penjelasanya.
“Tidak,
ini sudah berakhir” katanya terlihat sedih
“Sudah
berakhir” kataku mencoba menyakinkan
“Dave,
telah membawa semua rancangan games yang
kamu buat ke SEGA. Semuanya” katanya lagi sambil mejelaskan bahwa asistenku,
Dave adalah sang pengacau.
“Sekarang
dia menjadi kepala kratif desain di SEGA” lajutnya dengan wajah sedih.
“Kau di
pecat. Ini surat
dari perusahaan atas penghianatanmu” katanya sambil memberikan aku amplop
berlogo EA Games.
“Tapi,
semua ini salah paham aku tak melakukannya. Semua itu bohong” aku mencoba
menjelaskan semua yang terjadi. Tapi itu semua percuma setelah Pak Henry
memperlihatkan surat
perjanjian yang aku tandatangani dengan SEGA.
Pemecatan
ini seperti menampar mukaku berkali-kali. Aku berjalan gontai meninggalkan
ruang kantor. Berjalan melewati lorong-lorong yang bergambar tokoh-tokoh games yang kami buat. Aku tak mengerti
bagaimana bisa semua ini terjadi. Aku sama sekali tak menandatangani surat perjanjian itu.
Sudah sejak lama Dave mengicar posisiku.
Semua
yang aku miliki sekarang tinggal kenangan artinya aku harus kembali ke Jakarta. Aku harus
meniggalkan kota
yang telah memberiku banyak sekali kebahagiaan, kemewahan, cinta, dan
persahabatan. Semua hal yang sudah terjalin indah 4 tahun ini. Kota Milan yang
mempunyai dua klub sepakbola, AC Milan dan Inter Milan.
Aku tak bisa lagi menonton pertandingan sepak bola
setiap akhir pekan di stadion Giuseppe
Meazza, San Siro, Milan.
Bersama teman-temanku di Milan’s Red and
Black Brigade. Kami adalah penguasa curva sud di stadion Giuseppe Meazza , San
Siro.
Tak bisa
lagi menikmati hangatnya kopi di persimpangan Cordusio. Tentunya aku tak dapat
lagi menyicipi lezatnya Pizza. Di restoran
Pizza di dekat stasiun bawah tanah
Farmogosta.
Jam
tanganku sudah menunjukan pukul 11: 00
siang. Aku janji sama Mila untuk makan siang bersama. Dia perempuan keturanan
Indonesia Itali. Mungkin setelah aku bertemu dengannya rasa galauku dapat
memudar. Aku juga ingin menceritakan padanya tentang masalah yang aku hadapi.
Lama menuggu.
Akhirnya dia datang juga. Kali ini dia datang tak dengan senyum manisnya.
Mukanya terlihat serius. Tak memancarkan kegembiraan.
“Sebenarnya
hari ini aku ingin membicarakan satu hal penting” katanya serius.
“Rom, aku
rasa lebih baik hubungan kita berakhir saja” sambungnya. Aku lihat matanya yang
mencoba menahan air mata sambil mengalihkan pandangan dari mataku.
“Tapi,
kenapa?” kataku tak habis pikir dengan ucapannya
“Coba
lihat ini” dia menyerahkan padaku amplop coklat yang berisi foto-foto.
“Dave, yang
memberikannya padaku” sambungnya
Aku lihat
foto-foto itu. Ternyata adalah foto-foto saat aku bercumbu dengan perempuan lain.
Aku tak percaya mengapa ini dapat terjadi. Aku tak pernah berfoto seperti ini.
Aku benar-benar tak habis pikir. Aku bingung ternyata orang yang paling aku
percayai menjebakku.
“Sudahlah
Rom, tidak ada yang harus dijelaskan lagi” katanya sambil pergi meniggalkanku.
Rasanya
aku ingin berteriak sekencang mungkin. Atas semua ini. Tetapi, aku harus tetap
bertahan. Aku putuskan untuk ke Bank. Agar aku bisa membayar tagihan apartemen
dan tagihan lainnya. Stelah itu aku bereskan masalahku dengan Mila dan tentunya
juga dengan Dave. Aku juga berniat
memindahakan semua tabunganku ke cabang Jakarta.
“Maaf,
Anda tak dapat mengambil uang, karena rekening tabungan Anda nol atau tak ada uang
sama sekali” kata seorang tailer ramah.
“Apa!
Mana mungkin ini terjadi?” aku benar-benar tak mengerti
“Coba
Anda lihat ini!” katanya lagi
“Tapi,
bagaimana mungkin ini terjadi?” kataku
“Bukanya
Anda sendiri yang menginginkan rekening anda di tutup dan dipindahkan ke
rekening Anda yang lain” kata seorang manajer bank.
“Ini
tanda tanga Anda, bukan? Anda juga menyuruh teman Anda, Dave”
Seakan
mendapat tamparan keras tepat di pipiku. Bagaimana mungkin? Aku tak pernah
menyuruh Dave melakukannya. Rasa sabarku sudah habis. Aku harus temui Dave dan
meminta penjelasan. Aku harus membuat dia bertekuk lutut dihadapanku. Meminta
maaf atas segala yang dia perbuat.
Dalam
perjalanan ke apartemen Dave. Aku menaiki kereta bawah tanah jalur 1 tujuan
Molino Dorino. Aku duduk bersebelahan
dengan seorang gadis pemabuk. Dia tiba-tiba muntah dibajuku. Aku tahu itu tidak
sengaja tapi benar-benar membuatku kesal. Dengan seenaknya dia pergi tanpa
mengucapkan maaf. Meniggalkan aku yang sibuk membersihkan bajuku. Serta menahan
malu karena semua pandangan mata mengarah padaku.
Hari ini
seakan menjadi hari yang tak bersahabat. Berkali-kali aku tersandung. Rasanya
ingin sekali aku menonjok wajah Dave. Sekarang aku berada tepat di depan apartemen
Region tempat Dave tinggal. Aku akan membalasnya. Aku akan membuatnya memohon
padaku.
Tiba-tiba,
lift yang kami naiki berhenti. Apalagi yang akan terjadi padaku, tuhan? Batinku
bergumam. Di sebelah tepat berdiri seorang ibu hamil. Nampaknya dia sedang
hamil tua. Aku hanya berfikir semoga dia tak melahirkan di lift. Semoga tidak. Aku
dengar sebuah nada peringatan dari luar litf. Agar para penumpang yang di
berada di dalam tidak panik.
Sepuluh menit kemudian
aku lihat wajahnya berkeringat dan menahan rasa sakit. Oh, tidak jangan ini
bukan waktu yang tepat. Aku hanya tersenyum kecut menatapnya. Semoga dia tahu
yang aku maksud.
“Aku
rasa, sebetar lagi aku akan melahirkan” katanya sambil memegang perut buncitnya
“Memangnya
sudah berapa bulan?” tanyaku sedikit panik
“9 bulan”
katanya yang tampaknya semakin tak kuat menahan rasa sakit.
Aku tak
dapat melayangkan sepatah kata.
Dia
terjatuh perlahan dari berdirinya. Aku menadahnya. Situasi ini membuat aku
benar-benar bingung luar biasa. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku
lepas jaketkku dan menyelimutinya.
“Baiklah,
nama Anda siapa? Namaku Romi” tanyaku padanya
“Gisela”
jawabnya sambil menahan rasa sakit.
Aku
mencoba untuk tenang dan membimbingnya. Walau aku bukan seorang dokter tapi hal
seperti ini sering lihat di TV. Akhirnya baik mungil itu keluar dari rahimnya.
Tak lama kemudian pintu lift terbuka. Banyak orang yang tampak khawatir dengan
keadaan kami. Begitu juga dengan sang ayah dari baik tersebut.
Aku
mencoba untuk menghindar dari kerumunan orang
banyak. Aku tetap pada tujuanku mencari Dave.
Tingnog.
Suara bel kamar aprtemen Dave. Tapi tak ada yang menjawab. Aku terus mencoba
menekan bel. Tetap saja tak ada yang membukakan pintu. Apa jangan-jangan dia
telah menghilang atau melarikan diri. Sial. Aku pasti keduluan lagi.
Aku
putuskan untuk kembali ke apartemenku. Jam tanganku sudah menunjukan pukul 09:00 malam. Aku akan mandi dan
berkemas.
“Taxi!”
teriakku sambil mengcungkan jempolku.
Dalam
perjalanan aku terus merenungkan kejadian ini. Apa maksud semua ini. Apa
peringtan atas kesombonganku.
“Angkat
tangan!” seru si supir taxi sambil mengacungkan pistol kearahku
Tanpa
berkata apa-apa aku langsung mengangkat tanganku.
“Keluarkan
isi kantongmu. Cepat!” sambil mengarahkan pistolnya padaku
“Keluar!”
teriaknya kearahku.
Tanpa
aba-aba lagi aku keluar dari taxi.
Benar-benar
hari termalang bagiku. Rasanya aku ingin mati saja atas semua yang terjadi
padaku.
Saat aku
menyebrang. Tiba-tiba, sebuah cahaya
membuat mataku silau. Ternyata cahaya itu berasal dari sebuah mobil.
Bruk. Mobil itu
menabrakku. Bagaimana dengan nasibku? Mungkin ini adalah hari terakhirku di Milan?
___________________________________THE
END____________________________
Sabilla Fardhini - 16209063