Jumat, 27 April 2012

Hari Terakhir di Milan (Cerpen)


Kring. Bunyi suara ponsel membuatku terbangun. Gila, inikan masih pukul 5:00 pagi. “Halo, siapa nih?” jawabku sedikit kesal., karena membuatku terbangun dari tidur lelapku.
            “Mila, hari ini kita ketemuan di tempat biasa, CafĂ© Dejavu jam 12:00 siang. Oh yah, jangan telat” katanya tanpa memberikan kesempatan aku berbicara. Dia langsung menutup ponselnya. Aneh kenapa secara tiba-tiba Mila mau ketemu aku. Dasar perempuan kemauannya aneh-aneh saja.
Perkenalkan namaku Romi, 28 tahun. Pria baik hati, angkuh, ramah, keras kepala, sabar, tulus, optimis, percaya diri dan yang pasti cukup good looking. Hari ini, hari Senin akan menjadi hari yang melelahkan. Banyak tugas yang harus aku kerjakan di kantor.
Aku bekerja di EA Games perusahaan games terbesar di dunia yang hanya bisa di saingi oleh SEGA. Aku  mungkin menjadi salah seorang Indonesia yang beruntung bekerja disini. Sebagai kreatif desain games. Aku mengerjakan setiap hal yang berhubungan dengan pembuatan games baru. Perusahaan kami telah membuat banyak games best seller, seperti The Sims, The Sims 2, NBA live 2005, Winning Eleven dan banyak lagi.
Hari ini akan menjadi hari yang bersejarah bagiku. Aku akan mempresentasikan games simulator The Sims 2 University di hadapan para GM, Presiden komisaris dan para bawahannya. Menurut jadual games ini harus segera beredar sebelum bulan Mei ini.
Aku harus tampil rapih dan menyakinkan. Agar para atasanku terkesan. Ini waktunya percaya diri dan jangan gugup. Tampil sebaik mungkin, karena aku adalah kreatif desain terbaik yang mereka punya. Masa depan EA Games ada di tanganku. Seperti aku yang tak terkalahkan. Karena tak ada yang dapat menjatuhkanku.
“Kau siap?” Tanyaku pada kepala kratif desain, Pak Henry, seorang berkebangsaan Prancis.
“Perusahaan telah membantalkan rapatnya, Romi” katanya muram sambil memasuki ruang kerjaku.
“Sampai besok?”tanyaku sedikit bingung dengan penjelasanya.
“Tidak, ini sudah berakhir” katanya terlihat sedih
“Sudah berakhir” kataku mencoba menyakinkan
“Dave, telah membawa semua rancangan games yang kamu buat ke SEGA. Semuanya” katanya lagi sambil mejelaskan bahwa asistenku, Dave adalah sang pengacau.
“Sekarang dia menjadi kepala kratif desain di SEGA” lajutnya dengan wajah sedih.
“Kau di pecat. Ini surat dari perusahaan atas penghianatanmu” katanya sambil memberikan aku amplop berlogo EA Games.
“Tapi, semua ini salah paham aku tak melakukannya. Semua itu bohong” aku mencoba menjelaskan semua yang terjadi. Tapi itu semua percuma setelah Pak Henry memperlihatkan surat perjanjian yang aku tandatangani dengan SEGA.
Pemecatan ini seperti menampar mukaku berkali-kali. Aku berjalan gontai meninggalkan ruang kantor. Berjalan melewati lorong-lorong yang bergambar tokoh-tokoh games yang kami buat. Aku tak mengerti bagaimana bisa semua ini terjadi. Aku sama sekali tak menandatangani surat perjanjian itu. Sudah sejak lama Dave mengicar posisiku.
Semua yang aku miliki sekarang tinggal kenangan artinya aku harus kembali ke Jakarta. Aku harus meniggalkan kota yang telah memberiku banyak sekali kebahagiaan, kemewahan, cinta, dan persahabatan. Semua hal yang sudah terjalin indah 4 tahun ini. Kota Milan yang mempunyai dua klub sepakbola, AC Milan dan Inter Milan.
Aku  tak bisa lagi menonton pertandingan sepak bola setiap akhir pekan di stadion  Giuseppe Meazza, San Siro, Milan. Bersama teman-temanku di  Milan’s Red and Black Brigade. Kami adalah penguasa curva sud di stadion Giuseppe Meazza , San Siro. 
Tak bisa lagi menikmati hangatnya kopi di persimpangan Cordusio. Tentunya aku tak dapat lagi menyicipi lezatnya Pizza. Di  restoran Pizza di dekat  stasiun bawah tanah Farmogosta.                                                                                                                          
Jam tanganku sudah menunjukan pukul 11: 00 siang. Aku janji sama Mila untuk makan siang bersama. Dia perempuan keturanan Indonesia Itali. Mungkin setelah aku bertemu dengannya rasa galauku dapat memudar. Aku juga ingin menceritakan padanya tentang masalah yang aku hadapi.
Lama menuggu. Akhirnya dia datang juga. Kali ini dia datang tak dengan senyum manisnya. Mukanya terlihat serius. Tak memancarkan  kegembiraan.
“Sebenarnya hari ini aku ingin membicarakan satu hal penting” katanya serius.
“Rom, aku rasa lebih baik hubungan kita berakhir saja” sambungnya. Aku lihat matanya yang mencoba menahan air mata sambil mengalihkan pandangan dari mataku.
“Tapi, kenapa?” kataku tak habis pikir dengan ucapannya
“Coba lihat ini” dia menyerahkan padaku amplop coklat yang berisi foto-foto.
“Dave, yang memberikannya padaku” sambungnya
Aku lihat foto-foto itu. Ternyata adalah foto-foto saat aku bercumbu dengan perempuan lain. Aku tak percaya mengapa ini dapat terjadi. Aku tak pernah berfoto seperti ini. Aku benar-benar tak habis pikir. Aku bingung ternyata orang yang paling aku percayai menjebakku.
“Sudahlah Rom, tidak ada yang harus dijelaskan lagi” katanya sambil pergi meniggalkanku.
Rasanya aku ingin berteriak sekencang mungkin. Atas semua ini. Tetapi, aku harus tetap bertahan. Aku putuskan untuk ke Bank. Agar aku bisa membayar tagihan apartemen dan tagihan lainnya. Stelah itu aku bereskan masalahku dengan Mila dan tentunya juga dengan  Dave. Aku juga berniat memindahakan semua tabunganku ke cabang Jakarta.
“Maaf, Anda tak dapat mengambil uang, karena rekening tabungan Anda nol atau tak ada uang sama sekali” kata seorang tailer ramah.
“Apa! Mana mungkin ini terjadi?” aku benar-benar tak mengerti
“Coba Anda lihat ini!” katanya lagi
“Tapi, bagaimana mungkin ini terjadi?” kataku
“Bukanya Anda sendiri yang menginginkan rekening anda di tutup dan dipindahkan ke rekening Anda yang lain” kata seorang manajer bank.
“Ini tanda tanga Anda, bukan? Anda juga menyuruh teman Anda,  Dave”
Seakan mendapat tamparan keras tepat di pipiku. Bagaimana mungkin? Aku tak pernah menyuruh Dave melakukannya. Rasa sabarku sudah habis. Aku harus temui Dave dan meminta penjelasan. Aku harus membuat dia bertekuk lutut dihadapanku. Meminta maaf atas segala yang dia perbuat.
Dalam perjalanan ke apartemen Dave. Aku menaiki kereta bawah tanah jalur 1 tujuan Molino Dorino. Aku  duduk bersebelahan dengan seorang gadis pemabuk. Dia tiba-tiba muntah dibajuku. Aku tahu itu tidak sengaja tapi benar-benar membuatku kesal. Dengan seenaknya dia pergi tanpa mengucapkan maaf. Meniggalkan aku yang sibuk membersihkan bajuku. Serta menahan malu karena semua pandangan mata mengarah padaku.
Hari ini seakan menjadi hari yang tak bersahabat. Berkali-kali aku tersandung. Rasanya ingin sekali aku menonjok wajah Dave. Sekarang aku berada tepat di depan apartemen Region tempat Dave tinggal. Aku akan membalasnya. Aku akan membuatnya memohon padaku.
Tiba-tiba, lift yang kami naiki berhenti. Apalagi yang akan terjadi padaku, tuhan? Batinku bergumam. Di sebelah tepat berdiri seorang ibu hamil. Nampaknya dia sedang hamil tua. Aku hanya berfikir semoga dia tak melahirkan di lift. Semoga tidak. Aku dengar sebuah nada peringatan dari luar litf. Agar para penumpang yang di berada di dalam tidak panik.
Sepuluh  menit  kemudian aku lihat wajahnya berkeringat dan menahan rasa sakit. Oh, tidak jangan ini bukan waktu yang tepat. Aku hanya tersenyum kecut menatapnya. Semoga dia tahu yang aku maksud.  
“Aku rasa, sebetar lagi aku akan melahirkan” katanya sambil memegang perut buncitnya
“Memangnya sudah berapa bulan?” tanyaku sedikit panik
“9 bulan” katanya yang tampaknya semakin tak kuat menahan rasa sakit.
Aku tak dapat melayangkan sepatah kata.
Dia terjatuh perlahan dari berdirinya. Aku menadahnya. Situasi ini membuat aku benar-benar bingung luar biasa. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku lepas jaketkku dan menyelimutinya.
“Baiklah, nama Anda siapa? Namaku Romi” tanyaku padanya
“Gisela” jawabnya sambil menahan rasa sakit.
Aku mencoba untuk tenang dan membimbingnya. Walau aku bukan seorang dokter tapi hal seperti ini sering lihat di TV. Akhirnya baik mungil itu keluar dari rahimnya. Tak lama kemudian pintu lift terbuka. Banyak orang yang tampak khawatir dengan keadaan kami. Begitu juga dengan sang ayah dari baik tersebut.
Aku mencoba untuk menghindar dari kerumunan  orang banyak. Aku tetap pada tujuanku mencari Dave.
Tingnog. Suara bel kamar aprtemen Dave. Tapi tak ada yang menjawab. Aku terus mencoba menekan bel. Tetap saja tak ada yang membukakan pintu. Apa jangan-jangan dia telah menghilang atau melarikan diri. Sial. Aku pasti keduluan lagi.
Aku putuskan untuk kembali ke apartemenku. Jam tanganku sudah menunjukan pukul 09:00 malam. Aku akan mandi dan berkemas.
“Taxi!” teriakku sambil mengcungkan jempolku.
Dalam perjalanan aku terus merenungkan kejadian ini. Apa maksud semua ini. Apa peringtan atas kesombonganku.
“Angkat tangan!” seru si supir taxi sambil mengacungkan pistol kearahku
Tanpa berkata apa-apa aku langsung mengangkat tanganku.
“Keluarkan isi kantongmu. Cepat!” sambil mengarahkan pistolnya padaku
“Keluar!” teriaknya kearahku.
Tanpa aba-aba lagi aku keluar dari taxi.


Benar-benar hari termalang bagiku. Rasanya aku ingin mati saja atas semua yang terjadi padaku.
Saat aku menyebrang. Tiba-tiba,  sebuah cahaya membuat mataku silau. Ternyata cahaya itu berasal dari sebuah mobil.
Bruk. Mobil itu menabrakku. Bagaimana dengan nasibku? Mungkin ini adalah hari terakhirku di Milan?
___________________________________THE END____________________________

Sabilla Fardhini - 16209063